Pemerintah Harus Jamin Kebebasan Beragama

JAKARTA (Suara Karya) Pemerintah diminta untuk lebih memperhatikan isu-isu berkaitan dengan kehidupan keagamaan di Indonesia, terutama menyangkut pluralisme dan kebebasan beragama serta berkeyakinan, mengingat hingga saat ini permasalahan tersebut masih terjadi.

Menurut Direktur Wahid Institute Zannuba Arifah Chafsoh atau yang akrab disapa Yenny Wahid, di Jakarta, Selasa, situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia masih memprihatinkan. Kondisi ini tercermin dari masih tingginya angka kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

"Situasi keagamaan di Indonesia ini masih memprihatinkan. Pemerintah juga terkesan masih malu mengakui adanya masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan, padahal itu riil terjadi," katanya disela sela peluncuran laporan akhir tahun Wahid Institute tentang kebebasan beragama dan kehidupan keagamaan Indonesia 2009.
la mengatakan, pada praktiknya pemerintah masih menempatkan isu

kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai isu kedua dan bukan merupakan prioritas untuk segera diatasi. "Banyak kasus terjadi tetapi sepertinya pemerintah tenang-tenang saja," katanya.

Hasil laporan Wahid Institute selama tahun 2009 menunjukkan, terdapat 35 kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan aparat negara. Sebaran wilayah pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tersebut, yaitu sepuluh kasus di Jawa Barat, delapan kasus di Jawa Timur, empat kasus di Jakarta, tiga kasus di Jawa Tengah, tiga kasus di Nusa Tenggara Barat, tiga kasus di Sumatera, dua kasus di Sulawesi, dan satu kasus di Kalimantan.

Kriminalisasi Keyakinan Dilihat dari aktor yang terlibat dalam pelanggaran tersebut, 45 persen atau 18 kasus melibatkan kepolisian, 20 persen atau delapan kasus melibatkan pemerintah daerah, 15 persen atau enam kasus libatkan pemerintah desa dan kecamatan dan 10 persen atau empat kasus melibatkan kejaksaan dan Ba-korpakem.

Selain itu, 5 persen atau dua kasus melibatkan pengadilan, serta sisanya 5 persen atau dua kasus melibatkan aktor lainnya. Ditinjau dari segi bentuk pelanggaran, sembilan kasus berkaitan dengan pelarangan keyakinan, tujuh kasus pembiaran, tujuh kasus kriminalisasi keyakinan, lima kasus pembatasan aktivitas keagamaan, lima kasus pelarangan tempat ibadah, dan dua kasus pemaksaan keyakinan.

Sepanjang 2009, peristiwa intoleransi antarumat beragama tercatat sebanyak 93 kasus. Kasus terbanyak terjadi pada Juni hingga November 2009. Menurut Koordinator Wahid Istitute Rumadi, peningkatan isu intoleransi pada Juni 2009 tampak-nya dipicu hiruk pikuk kampanye pemilihan presiden. Bentuk tindakan intoleransi yang paling banyak adalah penebaran kebencian terhadap kelompok, negara/bangsa tertentu (20 kasus). Kemudian, penyerangan, perusakan dan penggerebekan rumah, bangunan, atau tempat ibadah (18 kasus), tuntutan pembubaran Ahmadi-yah (10 kasus) dan penye-satan (9 kasus).

"Meski potret kebebasan beragama dan iklim toleransi pada 2009 ini belum bisa dikatakan cerah, namun sejumlah kemajuan sepanjang 2009 patut membawa apresiasi dan perhatian," kata Rumadi saat menjelaskan hasil laporan tahunan Wahid Institute.

Laporan tahunan Wahid Institute tersebut disusun berdasarkan hasil pemantauan tim yang bekerja secara nasional, khususnya di 11 wilayah di Indonesia diantaranya adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Banten

0 komentar:

Post a Comment