Enam dari sepuluh anak Indonesia tidak diakui keberadaannya oleh Pemerintah. Hal ini disebabkan karena mereka tidak tercatat pada catatan sipil. Dengan demikian hanya 40% tingkat pencatatan kelahiran di Indonesia. Berarti Pemerintah telah berlaku diskriminatif terhadap sebagian besar anak-anak dan warga negaranya. Akibatnya anak-anak yang tidak memiliki identitas rentan terhadap eksploitasi.
Umumnya anak-anak yang menjadi korban eksploitasi tidak memiliki catatan sehingga pemalsuan jati diri anak seringkali dijadikan modus operandi sebagai seringkali terjadi pada kasus-kasus trafficking. Oleh karena itu salah satu upaya untuk melindungi anak-anak melalui pemberian akta kelahiran.
Sebagai bagian sistem pencatatan sipil, pencatatan kelahiran berfungsi untuk menentukan dan menetapkan status keperdataan (sipil) seseorang dalam wilayah hukum suatu negara. Pencatatan ini merupakan bagian dari hak sipil yang melekat begitu seseorang lahir. Karenanya negara berkewajiban menghormati, memenuhi, dan melindungi hak ini. Ini berarti dengan mencatatkan seorang anak, negara telah resmi mengakuinya sebagai subyek hukum dan berkewajiban melindungi hak-hak sipilnya.
Pengakuan sebagai subyek hokum merupakan hak asasi manusia (HAM) yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam kondisi apapun, meski negara dalam kondisi darurat sekalipun. Karena hak ini termasuk dalam kategori non derogable rights.
Akta Kelahiran adalah sebuah akta yang dikeluarkan negara melalui pejabat yang berwenang yang berisi identitas anak yang dilahirkan, yaitu nama, tanggal lahir, nama orang tua serta tanda tangan pejabat yang berwenang. Akta kelahiram merupakan salah satu bukti kewarganegaraan seseorang.
Terdapat 2 (dua) fungsi utama dari Akta Kelahiran :
Dengan adanya akta kelahiran ini, maka anak secara yuridis berhak untuk mendapatkan perlindungan hak-hak kewarganegaraannya, misalnya hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pemukiman, dan hak atas sistem perlindungan sosial.
Dalam kerangka hukum Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, hak atas kewarganegaraan merupakan hak asasi setiap manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam Pasal 15 huruf a menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh suatu kewarganegaraan. Kemudian Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, hak atas kewarganegaraan diatur dalam Pasal 24 ayat 3. Karena setiap anak yang lahir harus didaftarkan sebagai bukti awal kewarganegaraannya, maka Konvensi Hak Anak yang secara spesifik mengatur kebutuhan anak menjadi acuan yuridis untuk menganalisis persoalan ini. Pasal 7 KHA menyatakan anak akan didaftarkan segera setelah kelahiran dan berhak memperoleh kewarganegaraan. Selanjutnya Pasal 8 menegaskan bahwa negara menghormati hak anak atas kewarganegaraannya.
Hak atas kewarganegaraan secara konseptual termasuk ke dalam rumpun hak-hak sipil dan politik, namun berdampak pada penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Mengingat fungsi akta kelahiran sebagai bukti kepastian hukum atas status kewarganegaraan seseorang.
Dalam kehidupan sehari-hari, akta kelahiran ini berguna dalam mengurus hal-hal yang sifatnya administrasi yang meminta informasi mengenai orang tua, misalnya : syarat untuk sekolah, membuat identitas lain - seperti Kartu Keluarga atau Kartu Tanda Penduduk (KTP), mencari pekerjaan, menikah, dan lain-lain.
Melihat kegunaan akta kelahiran sebagai akses untuk mendapatkan pemenuhan dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya maka jika terdapat sebagian penduduk yang tidak memiliki dokumen ini, berarti mereka terhambat untuk mengeyam hak asasinya.
Realitanya keinginan sebagian penduduk untuk memiliki akta kelahiran seringkali mendapatkan hambatan karena biaya pembuatannya yang mahal, persyaratannya banyak, prosesnya lama dan panjang, atau hambatan yang sifatnya menyangkut keturunan seseorang (genealogis).
Dalam konteks wilayah administrasi dan hukum Pemerintah Daerah DKI Jakarta, bagi kelompok miskin kota – yang sebagian besar biasanya kaum urban (pendatang), keinginan untuk memiliki akta kelahiran bagi anak-anaknya terhambat karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta.
Memang pernah Pemerintah Daerah DKI Jakarta mengadakan program kegiatan pemberian Akta Kelahiran Cuma-Cuma (gratis) bagi penduduk DKI Jakarta. Program ini ditujukan kepada masyarakat pra Keluarga Sejahtera atau masyarakat tidak mampu, serta bagi warga masyarakat yang kehilangan akta kelahiran karena musibah.
Persoalan yang muncul mana kala pemerintah mengeluarkan kebijakan ini adalah sosialisasi program tidak sampai kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Akses informasi masyarakat untuk mengikuti program ini seringkali terhambat karena prosedur birokrasi dan terjadinya praktik-praktik KKN. Selain itu, kebijakan yang diskriminatif masih saja diberlakukan antara pendatang dan penduduk DKI Jakarta.
Titik persoalannya adalah pembedaan perlakuan antara penduduk ber-KTP DKI Jakarta dan kelompok miskin kota yang tidak memiliki KTP DKI oleh Pemda DKI Jakarta untuk mendapatkan akta kelahiran. Tentu saja kondisi ini akan menjadi hambatan bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan haknya. Padahal kepemilikan akta kelahiran sebagai bukti awal kewarganegaraan merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, pemberian akta kelahiran gratis khususnya bagi kaum miskin kota yang tidak ber- KTP Pemda DKI Jakrta, memerlukan alokasi anggaran khusus.
Namun alokasi anggaran khusus untuk pemberian akta gratis tidak terakomodasi dalam APBD DKI Tahun 2005. Mengacu pada Nota Keungan APBD DKI Jakarta Tahun 2005, program akta gratis tidak dianggarkan. Malahan akta kelahiran dijadikan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi biaya cetak Akta Catatan Sipil. Retribusi akta untuk tahun anggaran 2005 diasumsikan sebesar 1, 7 milyar atau meningkat 3,7 % dari tahun anggaran tahun 2004 di mana retribusi yang berhasil dikumpulkan sebesar 1,6 milyar.
Pemberian akta gratis khususnya bagi masyarakat miskin seharusnya tidak berhenti hanya pada proses pencatatan namun kutipan akta yang nantinya diterima oleh pemohon juga seharusnya cuma-cuma. Namun melihat kecenderungan yang terjadi saat ini dengan dalih otonomi daerah, akta kelahiran dijadikan salah satu sumber PAD melalui penarikan retribusi daerah bagi pemohon akta yang ingin mendapatkan kutipan akta kelahiran. Melalui Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005, pemohon akta kelahiran dibebani retribusi biaya cetak akta kelahiran. Ketentuan ini tentu saja memberatkan bagi keluarga-keluarga miskin baik penduduk DKI maupun pendatang.
Dalam perspektif HAM upaya memberikan perlakuan khusus melalui affirmative action bagi kelompok miskin yang tergolong sebagai kelompok rentan (vulnerable) melalui alokasi yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka telah diamanatkan dalam konstitusi Pasal 28 H. Sebangun dengan ketentuan pasal ini, Pasal 34 mendeklarasikan janji negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Tentu saja termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan identitas atau pengakuan sebagai warga negara.
Dalam konteks pemenuhan hak asasi anak khususnya hak atas identitas berupa akta kelahiran, Pasal 4 KHA menegaskan agar negara mengambil semua langkah-langkah legislatif, admisnistrasi, dan tindakan lainnya yang tepat untuk melaksanakan hak-hak yang diakui dalam konvensi. Terkait dengan alokasi anggaran yang secara khusus dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak dari keluarga miskin, pasal yang sama menyatakan bahwa mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, maka negara harus melakukan langkah-langkah tersebut sampai pada jangkauan semaksimum dari sumber-sumber yang tersedia.
Dalam konteks pemenuhan hak atas akta kelahiran, maka apabila negara tidak mengalokasikan anggarannya secara khusus bagi pemenuhan hak asasi anak-anak dari keluarga miskin, dapat dikatakan negara telah melanggar HAM melalui tindakannya (act commission) karena negara secara sistematis melalui kebijkan politik anggarannya mengabaikan pemenuhan hak asasi keluarga miskin. Di samping melakukan pelanggaran melalui tindakannya, negara juga melanggar hak keluarga miskin melalui pembiaran (act ommision) karena kegagalannya memanfaatkan anggaran publiknya untuk kepentingan pemenuhan hak-hak asasi anak-anak keluarga miskin. Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 27 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akta kelahiran. Lebih jauh Pasal 28 menyatakan bahwa pembuatan akta kelahiran menjadi tanggungjawab pemerintah dan pembuatannya tidak dikenai biaya.
Ketentuan pasal ini jika dikerangkakan dalam perspektif HAM khususnya pemenuhan dan perlindungan hak bagi kelompok rentan dan dikerangkakan dalam affirmative action sebagaimana telah menjadi hak konstitusional warga negara maka kebijakan politik anggaran Pemda DKI Jakarta yang tidak mengalokasikan anggarannya untuk membuat akta kelahiran gratis dapat dikatakan Pemda DKI melalui aparatusnya telah melakukan pelanggaran HAM.