Bandara Baru,Masalah Baru



Tak lama lagi Bali akan memiliki dua Bandara bertaraf Internasional.

Rencananya, Buleleng menjadi target pembangunan persinggahan maskapai penerbangan nasional maupun dunia. Setidaknya menyumbang pula sebagai penunjang dunia pariwisata Bali.

Ide yang cukup brilliant dalam menyeimbangkan pariwisata Bali Selatan dan Utara. Karena selama ini, fokus pariwisata lebih di dominasi wilayah Bali Selatan. Jadi tak heran pula, pemerintah telah melirik Buleleng sebagai target dalam pengembangan pariwisata tahap selanjutnya.

Selain itu bukan tanpa alasan mengapa Buleleng dipilih sebagai lahan basah untuk membagun bandara Internasional. Persyaratan pembangunan sebuah bandara internasional tentunya bukan pekerjaan yang gampang, seperti proyek lainnya. sangat berat.

Persyaratan tersebut antara lain membutuhkan lahan tidak kurang dari 1.000 hektar, lokasinya tidak lebih dari 60 km dari pusat kegiatan masyarakat. Namun ternyata Buleleng mampu memenuhi persyaratan tersebut. Itu dikarenakan luas wilayahnya mencukupi untuk membangun bandara yang diinginkan.

Tentunya ini menjadi agin segar bagi seluruh masyarakat di Kabupaten tersebut. Buleleng akan menjadi calon pusat pariwisata kedua setelah Bali Selatan. Denyut jantung ekonomi pun akan berputar silih berganti, dengan adanya bandara yang menyaingi Ngurah Rai.

Magnet dari kelahiran bandara baru sangat begitu berpengaruh besar sehinggga jangan heran nantinya, tak lama lagi akan membumingnya `beton-beton pendukung pariwisata yang berkembang subur. seperti penginapan maupun hotel serta akses lain.

Tak akan segan-segan dalam mengekspansi lahan baru untuk tempat berteduh para wisatawan yang berkunjung. Ditambah lagi peningkatan akses fasilitas lainnya, demi menunjang kenyamanan pariwisata. Masyarakat pun sudah menanti datangnya momen ini. Buleleng akan disulap ala pariwista Bali Selatan yang menjanjikan bergam rezeki.

Masalah Baru

Memiliki bandara Internasional dua sekaligus, tentunya sebuah kebanggaan tiada tanding. Begitupun dengan kunjungan wisatawan yang akan mengunjungi Bali, tentunya akan mengalami peningkatan yang signifikan. Dengan pelayanan akses tranportasi yang mendukung, menjadikan Buleleng memiliki denyut kehidupan di sektor menjajikan ala pariwisata. Setidaknya pula, mampu “menolong” kehidupan masyarakat dimana mengantongi rakyat miskin tertinggi, dibandingkan Kabupaten lainnya di Bali.

Disisi lain akan menjadi ‘akibat’ tersendiri, yang akan muncul. Setelah menerapkan ‘sebab’. Ya, bandara baru, tentunya tak terlepas beragam masalah baru yang meilit. Baik dari segi horizontal maupun dengan lingkungan sekitar. Lahan yang dibutuhkan untuk membuka bandara baru tentunya tidaklah sedikit. Ribuan hektar lahan akan dibuka dengan mengaminkan mega proyek tersebut. Yang tidak lain , harus membuka lahan baru ataupun pembebesan tanah milik rakyat Buleleng secara langsung. Harga tanah pun akan semakin melambung, karena kecipratan dari rezeki pembangunan Bandara, yang selama ini diidentikkan dengan strategis, dan efesien dalam ranah apapun.

Namun ada beberapa sisi yang harus di perhitungkan pemerintah kelak ketika nantinya hal tersebut terwujud. Adanya bandara baru seperti Ngurah Rai, menjadi titik central tersendiri para “semt-semut” pariwisata yang berkerumun. Selain mengalami perubahan secara ekonomi, tentu pula secara garis besar berpengaruh besar terhadap perkembangan/perubahan sosial masyarakat Buleleng dan lingkungan secara nyata.

Mulai timbulnya konflik horizontal yang bertebaran, tindakan kriminal yang semakin meningkat, terancamnya keamanan sosial. Kita harus bercermin dari kota Denpasar dan sekitarnya, sebagai akses serta basis pariwisata yang serba ada .masyarakat dimanjakan dengan kemudahan yang tiada tanding pula.

Inilah sebenarnya yang menjadi refleksi pemerintah, belajar dari pariwisata Bali selatan yang tak terkendali. Investor menabur benih dimana-mana yang berujung pada perusakan alam Bali yang semakin memprihatinkan, namun dapat ditipu dan dipoles dengan petuah-petuah “suci” oleh abdi rakyat kita. Dapat ditarik kesimpulan pula bahwa semakin suburnya dunia pariwisata, maka semakin meningkat pula tindakan-tindakan nyeleneh masyarakat ataupun pihak lainnya . Apakah itu yang diinginkan pemerintah nantinya, ketika Buleleng berkembang sebagai kota Pariwita baru? Mudah-mudahan tidak!

Sumber: http://kotakinformasi.wordpress.com



Anarkis di Tengah Pluralis

Menjadi pelajaran berharga, bagi bangsa yang amat sangat besar ini. Ketika perbedaan menjadi “musuh”. Keberagaman tak di pandang sebuah keindahan yang harus disikapi dengan bijak, bukan sebaliknya. Kekerasan yang berbau agama, seakan menjadi cerminan bangsa ini dalam menapaki diawal tahun 2011. Konflik horizontal yang sarat akan SARA terjadi belakangn ini adalah bukti kongret betapa lemahnya manusia bangsa ini dalam menyikapi perbedaan.

Menjadi refleksi segenap bangsa ini, ketika menyimak kekerasan yang terjadi dengan membawa simbol-simbl agama dengan naungan Ormas. Sangat prihatin dan memilukan. Ketika Negara ini sedang mengalami goncangan berat, baik dari bencana alam dan kemiskinan. Konflik horizontal, ternyata belum menunjukkan titik lesu yang berarti. Malah sebaliknya.

Ormas yang merupakan sebuah wadah untuk pendaulat aspirasi. Mengkonsolidasikan beragam pandangan untuk mancapai sebuah tujuan yang diharapkan dalam kelompok/organisasi adalah keniscayaan, sehingga dapat sejajar dalam memperoleh hak kehidupan, baik dibidang ekonomi, sosial, dan budaya. Sepak terjang ormas pun bergerak massiv, dengan langkah pasti senantiasa memantau kebijakan pemerintah sebagai control social .

Ketika anomaly muncul kepermukaan dan bahkan menindas hak-hak rakyat ormas selalu berpegang teguh pada prinsip mereka sebagai sebuah komunitas yang peduli terhadap kondisi sosial , meskipun tidak semua ormas yang respon dan tanggap terhadap ironi-ironi rakyat. Namun beberapa tahun akhir ini perjalanan ormas yang berada diindonesia mulai menampakkan taringnya. Beragam aksi/kegiatan terorganisir yang dilakukan semakin jauh dari harapan masyarakat pada umumnya.

Pembekuan Ormas

Nilai-nilai dan prinsip demokrasi saat ini malah tidak dipraktikkan bahkan diabaikan. Ketegangan sosial yang digerakkan oleh balutan sentimen sebagaimana dilakukan ormas radikal, secara umum merupakan bukti nyata bagaimana demokratisasi tidak menjadi bagian praktik nyata. Dengan begitu, ekspresi kebekuan hubungan antar ormas dan masyarakat menjadi terpecah dengan adanya jurang pemisah yang signifikan yaitu ketidakpercayaan(distrust) rakyat terhadap pergerakan yang dilakukan oleh ormas-ormas yang menangatsnamakan pro rakyat namun lebih cenderung ingin memonopoli dengan kepentingan tertentu. Inilah kondisi paradoksal dan ironi.Memang tidak mudah lagi mendapatkan hati masyarakat. Apalagi kasus-kasus ekstrem yang menyentak khalayak.

Menjadi sejarah kelam para penggerak ormas, jika tidak menyikapi perbedaan kepercayaan sebagaimana mestinya. Kepercayaan memeluk agama seakan dikekang. Jika hanya merujuk pada satu otoritas yang dianggap benar, namun sangat “kaku” di mata pemeluknya. Aturan yang di rangkum para ormas yang mengatasnamakan pembela agama mayoritas seakan menjadi “rancun” sendiri para pemeluknnya, sehingga harus keluar dari lingkaran yang dianggapnya belum memasuki “zona nyaman’. Karena kepercayaan tetaplah masalah kenyamanan rohani tanpa adanya paksaan dengan beragam iming-iming yang malah menyesatkan. Karena segala sesuatu yang dipaksa terkesan, menimblkan gemercik konflik.

Pembekuan ormas yang memiliki garis keras pun harus secepatnya di evaluasi dan bila perlu di eliminasi. Karena pergerakannya pun hanya menimbulkan kebosanan tiada tara dari masyarakat sendiri. Tak salah jika Presiden Republik Indonesia Susilo bambang Yudhoyono dalam sambutannya sekaligus pembukaan dalam Hari Pers Nasional di Kupang mengecam keras para pelaku tindak kekerasan yang terjadi, bila perlu di bekukan. Sudah berulang kali ormas yang hanya membuat “gatal” rakyat Indonesia.

Untuk itu sudah sepatutnya pula pemerintah mengambil ancang-ancang tegas. Penegak hukum sebagai panglima hukun dinegeri ini, seharusnya memilki kekuatan tegas untuk meyikapinya, bukan malah menjadi penonton manis yang hanya menunggu respon, ketika suasana mulai mengeruh. Itu pun belakangan ini menjadi sororan publik mengenai penyerangan Jamaah Ahmadiah yang menelan korban hingga tewas. Peran penegak hukum pun, semakin dipertanyakan. Betapa leletnya, dalam menyikapi beragam kejanggalan dilapangan. Malah masyarakat pun, yang harus turun tangan.

Menjadi pekerjaan rumah pula, semua elemen di NKRI ini dalammenindak para Ormas nakal tersebut. keinginan masyarakat untuk membubarkan ormas, yang selalu membuat kekacuan adalah jawaban final, tidak bisa dinganggu gugat lagi. Terus apakah pemimpin negeri ini beserta selutuh jajaran kabinet di pemerintahannya berani untuk melakukan hal tersebut, yang telah dinanti oleh seluruh masyarakat Indonesia, Atau jangan-jangan, gertak sambal saja. Entahlaah!

Sumber: http://kotakinformasi.wordpress.com

Ilmu Budaya Dasar


1. Tujuan dari ilmu budaya dasar adalah mengembangkan kepribadian mahasiswa dengan cara memperluas wawasan pemikiran serta kemampuan kritikalnya terhadap nilai-nilai budaya, baik menyangkut orang lain dan alam sekitarnya maupun yang menyangkut dirinya sendiri.

2. Definisi kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dengan kata lain, kebudayaan itu adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar.

Kebudayaan(culture) à berasal dari kata sanskerta : Buddaya.

Bentuk jamak dari Buddhi(budi) atau akal

Kebudayaan: hal-hal yang bersangkutan dengan akal.

Budaya: budi dan daya, yang berupa cipta, karsa dan rasa.

Kebudayaan: Hasil dari cipta, karsa dan rasa.