Akta Kelahiran Hak Masyarakat atas Identitas

Enam dari sepuluh anak Indonesia tidak diakui keberadaannya oleh Pemerintah. Hal ini disebabkan karena mereka tidak tercatat pada catatan sipil. Dengan demikian hanya 40% tingkat pencatatan kelahiran di Indonesia. Berarti Pemerintah telah berlaku diskriminatif terhadap sebagian besar anak-anak dan warga negaranya. Akibatnya anak-anak yang tidak memiliki identitas rentan terhadap eksploitasi.

Umumnya anak-anak yang menjadi korban eksploitasi tidak memiliki catatan sehingga pemalsuan jati diri anak seringkali dijadikan modus operandi sebagai seringkali terjadi pada kasus-kasus trafficking. Oleh karena itu salah satu upaya untuk melindungi anak-anak melalui pemberian akta kelahiran.

Sebagai bagian sistem pencatatan sipil, pencatatan kelahiran berfungsi untuk menentukan dan menetapkan status keperdataan (sipil) seseorang dalam wilayah hukum suatu negara. Pencatatan ini merupakan bagian dari hak sipil yang melekat begitu seseorang lahir. Karenanya negara berkewajiban menghormati, memenuhi, dan melindungi hak ini. Ini berarti dengan mencatatkan seorang anak, negara telah resmi mengakuinya sebagai subyek hukum dan berkewajiban melindungi hak-hak sipilnya.

Pengakuan sebagai subyek hokum merupakan hak asasi manusia (HAM) yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam kondisi apapun, meski negara dalam kondisi darurat sekalipun. Karena hak ini termasuk dalam kategori non derogable rights.

Akta Kelahiran adalah sebuah akta yang dikeluarkan negara melalui pejabat yang berwenang yang berisi identitas anak yang dilahirkan, yaitu nama, tanggal lahir, nama orang tua serta tanda tangan pejabat yang berwenang. Akta kelahiram merupakan salah satu bukti kewarganegaraan seseorang.

Terdapat 2 (dua) fungsi utama dari Akta Kelahiran :

  • Menunjukkan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya secara hukum
  • Merupakan bukti awal kewarganegaraan dan identitas diri pertama yang dimiliki anak
  • Dengan adanya akta kelahiran ini, maka anak secara yuridis berhak untuk mendapatkan perlindungan hak-hak kewarganegaraannya, misalnya hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pemukiman, dan hak atas sistem perlindungan sosial.

    Dalam kerangka hukum Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, hak atas kewarganegaraan merupakan hak asasi setiap manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam Pasal 15 huruf a menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh suatu kewarganegaraan. Kemudian Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, hak atas kewarganegaraan diatur dalam Pasal 24 ayat 3. Karena setiap anak yang lahir harus didaftarkan sebagai bukti awal kewarganegaraannya, maka Konvensi Hak Anak yang secara spesifik mengatur kebutuhan anak menjadi acuan yuridis untuk menganalisis persoalan ini. Pasal 7 KHA menyatakan anak akan didaftarkan segera setelah kelahiran dan berhak memperoleh kewarganegaraan. Selanjutnya Pasal 8 menegaskan bahwa negara menghormati hak anak atas kewarganegaraannya.

    Hak atas kewarganegaraan secara konseptual termasuk ke dalam rumpun hak-hak sipil dan politik, namun berdampak pada penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Mengingat fungsi akta kelahiran sebagai bukti kepastian hukum atas status kewarganegaraan seseorang.

    Dalam kehidupan sehari-hari, akta kelahiran ini berguna dalam mengurus hal-hal yang sifatnya administrasi yang meminta informasi mengenai orang tua, misalnya : syarat untuk sekolah, membuat identitas lain - seperti Kartu Keluarga atau Kartu Tanda Penduduk (KTP), mencari pekerjaan, menikah, dan lain-lain.

    Melihat kegunaan akta kelahiran sebagai akses untuk mendapatkan pemenuhan dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya maka jika terdapat sebagian penduduk yang tidak memiliki dokumen ini, berarti mereka terhambat untuk mengeyam hak asasinya.

    Realitanya keinginan sebagian penduduk untuk memiliki akta kelahiran seringkali mendapatkan hambatan karena biaya pembuatannya yang mahal, persyaratannya banyak, prosesnya lama dan panjang, atau hambatan yang sifatnya menyangkut keturunan seseorang (genealogis).

    Dalam konteks wilayah administrasi dan hukum Pemerintah Daerah DKI Jakarta, bagi kelompok miskin kota – yang sebagian besar biasanya kaum urban (pendatang), keinginan untuk memiliki akta kelahiran bagi anak-anaknya terhambat karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta.

    Memang pernah Pemerintah Daerah DKI Jakarta mengadakan program kegiatan pemberian Akta Kelahiran Cuma-Cuma (gratis) bagi penduduk DKI Jakarta. Program ini ditujukan kepada masyarakat pra Keluarga Sejahtera atau masyarakat tidak mampu, serta bagi warga masyarakat yang kehilangan akta kelahiran karena musibah.

    Persoalan yang muncul mana kala pemerintah mengeluarkan kebijakan ini adalah sosialisasi program tidak sampai kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Akses informasi masyarakat untuk mengikuti program ini seringkali terhambat karena prosedur birokrasi dan terjadinya praktik-praktik KKN. Selain itu, kebijakan yang diskriminatif masih saja diberlakukan antara pendatang dan penduduk DKI Jakarta.

    Titik persoalannya adalah pembedaan perlakuan antara penduduk ber-KTP DKI Jakarta dan kelompok miskin kota yang tidak memiliki KTP DKI oleh Pemda DKI Jakarta untuk mendapatkan akta kelahiran. Tentu saja kondisi ini akan menjadi hambatan bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan haknya. Padahal kepemilikan akta kelahiran sebagai bukti awal kewarganegaraan merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, pemberian akta kelahiran gratis khususnya bagi kaum miskin kota yang tidak ber- KTP Pemda DKI Jakrta, memerlukan alokasi anggaran khusus.

    Namun alokasi anggaran khusus untuk pemberian akta gratis tidak terakomodasi dalam APBD DKI Tahun 2005. Mengacu pada Nota Keungan APBD DKI Jakarta Tahun 2005, program akta gratis tidak dianggarkan. Malahan akta kelahiran dijadikan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi biaya cetak Akta Catatan Sipil. Retribusi akta untuk tahun anggaran 2005 diasumsikan sebesar 1, 7 milyar atau meningkat 3,7 % dari tahun anggaran tahun 2004 di mana retribusi yang berhasil dikumpulkan sebesar 1,6 milyar.

    Pemberian akta gratis khususnya bagi masyarakat miskin seharusnya tidak berhenti hanya pada proses pencatatan namun kutipan akta yang nantinya diterima oleh pemohon juga seharusnya cuma-cuma. Namun melihat kecenderungan yang terjadi saat ini dengan dalih otonomi daerah, akta kelahiran dijadikan salah satu sumber PAD melalui penarikan retribusi daerah bagi pemohon akta yang ingin mendapatkan kutipan akta kelahiran. Melalui Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005, pemohon akta kelahiran dibebani retribusi biaya cetak akta kelahiran. Ketentuan ini tentu saja memberatkan bagi keluarga-keluarga miskin baik penduduk DKI maupun pendatang.

    Dalam perspektif HAM upaya memberikan perlakuan khusus melalui affirmative action bagi kelompok miskin yang tergolong sebagai kelompok rentan (vulnerable) melalui alokasi yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka telah diamanatkan dalam konstitusi Pasal 28 H. Sebangun dengan ketentuan pasal ini, Pasal 34 mendeklarasikan janji negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Tentu saja termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan identitas atau pengakuan sebagai warga negara.

    Dalam konteks pemenuhan hak asasi anak khususnya hak atas identitas berupa akta kelahiran, Pasal 4 KHA menegaskan agar negara mengambil semua langkah-langkah legislatif, admisnistrasi, dan tindakan lainnya yang tepat untuk melaksanakan hak-hak yang diakui dalam konvensi. Terkait dengan alokasi anggaran yang secara khusus dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak dari keluarga miskin, pasal yang sama menyatakan bahwa mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, maka negara harus melakukan langkah-langkah tersebut sampai pada jangkauan semaksimum dari sumber-sumber yang tersedia.

    Dalam konteks pemenuhan hak atas akta kelahiran, maka apabila negara tidak mengalokasikan anggarannya secara khusus bagi pemenuhan hak asasi anak-anak dari keluarga miskin, dapat dikatakan negara telah melanggar HAM melalui tindakannya (act commission) karena negara secara sistematis melalui kebijkan politik anggarannya mengabaikan pemenuhan hak asasi keluarga miskin. Di samping melakukan pelanggaran melalui tindakannya, negara juga melanggar hak keluarga miskin melalui pembiaran (act ommision) karena kegagalannya memanfaatkan anggaran publiknya untuk kepentingan pemenuhan hak-hak asasi anak-anak keluarga miskin. Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 27 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akta kelahiran. Lebih jauh Pasal 28 menyatakan bahwa pembuatan akta kelahiran menjadi tanggungjawab pemerintah dan pembuatannya tidak dikenai biaya.

    Ketentuan pasal ini jika dikerangkakan dalam perspektif HAM khususnya pemenuhan dan perlindungan hak bagi kelompok rentan dan dikerangkakan dalam affirmative action sebagaimana telah menjadi hak konstitusional warga negara maka kebijakan politik anggaran Pemda DKI Jakarta yang tidak mengalokasikan anggarannya untuk membuat akta kelahiran gratis dapat dikatakan Pemda DKI melalui aparatusnya telah melakukan pelanggaran HAM.

    Pemerintah Harus Jamin Kebebasan Beragama

    JAKARTA (Suara Karya) Pemerintah diminta untuk lebih memperhatikan isu-isu berkaitan dengan kehidupan keagamaan di Indonesia, terutama menyangkut pluralisme dan kebebasan beragama serta berkeyakinan, mengingat hingga saat ini permasalahan tersebut masih terjadi.

    Menurut Direktur Wahid Institute Zannuba Arifah Chafsoh atau yang akrab disapa Yenny Wahid, di Jakarta, Selasa, situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia masih memprihatinkan. Kondisi ini tercermin dari masih tingginya angka kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

    "Situasi keagamaan di Indonesia ini masih memprihatinkan. Pemerintah juga terkesan masih malu mengakui adanya masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan, padahal itu riil terjadi," katanya disela sela peluncuran laporan akhir tahun Wahid Institute tentang kebebasan beragama dan kehidupan keagamaan Indonesia 2009.
    la mengatakan, pada praktiknya pemerintah masih menempatkan isu

    kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai isu kedua dan bukan merupakan prioritas untuk segera diatasi. "Banyak kasus terjadi tetapi sepertinya pemerintah tenang-tenang saja," katanya.

    Hasil laporan Wahid Institute selama tahun 2009 menunjukkan, terdapat 35 kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan aparat negara. Sebaran wilayah pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tersebut, yaitu sepuluh kasus di Jawa Barat, delapan kasus di Jawa Timur, empat kasus di Jakarta, tiga kasus di Jawa Tengah, tiga kasus di Nusa Tenggara Barat, tiga kasus di Sumatera, dua kasus di Sulawesi, dan satu kasus di Kalimantan.

    Kriminalisasi Keyakinan Dilihat dari aktor yang terlibat dalam pelanggaran tersebut, 45 persen atau 18 kasus melibatkan kepolisian, 20 persen atau delapan kasus melibatkan pemerintah daerah, 15 persen atau enam kasus libatkan pemerintah desa dan kecamatan dan 10 persen atau empat kasus melibatkan kejaksaan dan Ba-korpakem.

    Selain itu, 5 persen atau dua kasus melibatkan pengadilan, serta sisanya 5 persen atau dua kasus melibatkan aktor lainnya. Ditinjau dari segi bentuk pelanggaran, sembilan kasus berkaitan dengan pelarangan keyakinan, tujuh kasus pembiaran, tujuh kasus kriminalisasi keyakinan, lima kasus pembatasan aktivitas keagamaan, lima kasus pelarangan tempat ibadah, dan dua kasus pemaksaan keyakinan.

    Sepanjang 2009, peristiwa intoleransi antarumat beragama tercatat sebanyak 93 kasus. Kasus terbanyak terjadi pada Juni hingga November 2009. Menurut Koordinator Wahid Istitute Rumadi, peningkatan isu intoleransi pada Juni 2009 tampak-nya dipicu hiruk pikuk kampanye pemilihan presiden. Bentuk tindakan intoleransi yang paling banyak adalah penebaran kebencian terhadap kelompok, negara/bangsa tertentu (20 kasus). Kemudian, penyerangan, perusakan dan penggerebekan rumah, bangunan, atau tempat ibadah (18 kasus), tuntutan pembubaran Ahmadi-yah (10 kasus) dan penye-satan (9 kasus).

    "Meski potret kebebasan beragama dan iklim toleransi pada 2009 ini belum bisa dikatakan cerah, namun sejumlah kemajuan sepanjang 2009 patut membawa apresiasi dan perhatian," kata Rumadi saat menjelaskan hasil laporan tahunan Wahid Institute.

    Laporan tahunan Wahid Institute tersebut disusun berdasarkan hasil pemantauan tim yang bekerja secara nasional, khususnya di 11 wilayah di Indonesia diantaranya adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Banten

    Kasus TKW di malaysia, Hak libur TKW terancam diabaikan


    KUALA LUMPUR, Republika– Sayap perempuan partai politik yang tengah berkuasa di Malaysia, Puteri UMNO,mengingatkan pemerintah untuk tidak meladeni semua keinginan Indonesia soal tenaga kerja wanita khususnya di sektor domestik (pekerja rumah tangga). Dua hal yang disoroti organisasi itu adalah tentang permintaan hari libur dan hak memegang paspor masing-masing selama mereka bekerja.

    “Tak semua permintaan ektrem Indonesia itu harus kita penuhi,” ujar pimpinan Puteri UMNO, Datuk Rosnah Abdul Rashid Shirlin, Rabu, seperti dilaporkan The Star.

    Menurutnya, dalam kontrak dengan para TKW yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga, sudah tercantum klausul hari libur yang diatur berdasar kesepakatan dengan majikan masing-masing. “Masing-masing majikan juga sudah paham, bahwa para PRT itu butuh istirahat yang cukup, hari libur, bersosialisasi dan sebagainya,” ujarnya.

    Soal paspor dipegang pekerja yang bersangkutan, ia menyatakan kurang sependapat. Menurutnya, tujuan pemegangan paspor oleh majikan adalah untuk memastikan para TKW itu tidak kabur sebelum masa kontraknya berakhir.

    Menurutnya, memberikan hari libur bagi TKW juga menjadi pedang bermata dua. Menurutnya, bila mereka dibiarkan mengambil hari libur sendiri, mereka akan menjadi “tak terkendali”. Para TKW itu akan memperbandingkan pekerjaannya dengan TKW lain, termasuk gaji, sehingga kemungkinan mereka kabur dari pekerjaannya menjadi makin besar. Di samping itu, dikhawatirkan mereka akan menjalin cinta diam-diam dan berisiko hamil di luar perkawinan.

    “JIka hal ini terjadi, atau mereka minggat, siapa yang akan menanggung risiko itu? Tentu majikannya, bukan?” ujarnya.

    Menurutnya, keputusan pemerintah Indonesia untuk membekukan pengiriman TKW hanyalah taktik mereka agar seluruh tuntutan itu dipenuhi. Misalnya saja, soal tuntutan gaji minimum 600 ringgit perbulan. “Padahal biaya rekrutmen mereka 5.000 ringgit sendiri,” tambahnya.

    Rosnah mengusulkan agar Kementerian Sumber Daya Manusia mengkaji ulang kesepakatan soal TKW ini. “Setiap negosiasi haruslah bersifat win-win solution baik bagi pekerja atau majikan,” katanya.

    Sebuah regulasi baru, kata dia, tak bisa lahir hanya karena “pesanan” negara tetangga. Apalagi, katanya, permintaan itu merupakan wujud dari arogansi dengan “permintaan ekstrem”. Ia juga mengimbau agar agensi PRT Malaysia lebih kreatif dan mencari alternatif lain, tak tergantung pada pekerja dari Indonesia. (tri)

    ————————————————————————–

    Itulah malaysia yang semakin memalukan, saat ormas perempuan partai penguasa di Malaysia malah tidak menginginkan persamaan hak perempuan atas pembantu di rumah tangganya, ini keanehan terbesar dalam upaya wanita memperjuangkan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, seolah-olah pembantu wanita Indonesia jauh lebih rendah derajatnya dibanding pembantu wanita asal negara lain di malaysia.

    Pantaskah pandangan ormas wanita tersebut mencerminkan Malaysia Truly Asia? ternyata persamaan hak asasi tidak berlaku di Malaysia, terbukti perlakuan TKW Indonesia jauh lebih buruk dari TKW asal negara lain.

    Pemerintah sangat perlu memandang kasus ini sebagai pertimbangan utama izin kerja TKW di Malaysia, bila perlu tarik semua TKW dan TKI di Malaysia dan difasilitasi untuk menjadi tenga kerja di negara lain yang masih menghargai hak asasi manusia

    Masalah dalam negeri yang harus selalu menjadi PR Depnaker adalah memberikan pelatihan kerja yang memadai bagi setiap TKI dan TKW di luar negeri. termasuk juga memahami dan bisa memperjuangkan hak-hak mereka saat sudah di negara tujuan, jangan sampai mereka menjadi sapi perahan tanpa tahu hak-haknya sebagai tenaga kerja

    Adapun PR aparat kepolisian adalah menghilangkan praktek penyelundupan TKI ke malaysia, termasuk juga praktek perdagangan perempuan yang marak terjadi di perbatasan Indonesia – Malaysia. Kombinasi keduanya akan mengurangi terjadinya perendahan martabat Indonesia di malaysia

    Kekerasan Terhadap Perempuan; Tema Hari Perempuan Sedunia

    Tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Sedunia atau International Women's Day. Pada tanggal tersebut, perempuan di seluruh dunia memperingati perjuangan yang dilakukan perempuan untuk mencapai kesetaraan baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Hari tersebut, juga merupakan peluang bagi perempuan untuk bertemu, menyatukan langkah, berjejaring, dan saling menguatkan dalam rangka membawa perubahan yang berarti bagi perempuan.
    Sejarah Hari Perempuan
    Berawal di tahun 1857 di kota New York, Amerika Serikat, di mana para buruh pabrik tekstil yang kebanyakan perempuan mengadakan demonstrasi menuntut perbaikan kondisi kerja. Namun mereka menghadapi kekerasan polisi. Protes terus berlangsung di tahun-tahun selanjutnya yang mencapai puncaknya pada tahun 1908 ketika 15 ribu perempuan melakukan pawai di New York menuntut jam kerja yang lebih pendek, upah yang lebih baik, dan hak untuk memilih.

    Pada tahun 1910, digelar konperensi perempuan internasional yang pertama di Kopenhagen, Denmark. Clara Zetkin, seorang tokoh sosialis Jerman mengusulkan hari perempuan internasional setiap tahun. Tahun berikutnya, hari perempuan internasional dirayakan oleh jutaan perempuan di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss. Menjelang Perang Dunia I perempuan di seluruh Eropa mengadakan pawai perdamaian pada tanggal 8 Maret 1913.
    Tanggal 8 Maret 1917 berlangsung aksi mogok buruh tekstil yang pertama di Rusia di bawah pimpinan feminis perempuan Alexandra Kollontai. Para buruh menuntut perbaikan kerja, dan pemenuhan sandang pangan. Aksi ini sekaligus menjadi tonggak Revolusi Rusia. Perserikatan Bangsa Bangsa baru mengakui 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional pada tahun 1978.
    Saat ini tanggal 8 Maret merupakan hari libur resmi di sejumlah negara seperti Rusia, Armenia, Azerbaijan, Belarus, Bulgaria, Mongolia, Makedonia, Ukraina, Vietnam, dan sebagainya. Di sejumlah negara tanggal ini diperingati setara dengan Hari Ibu atau Mother's Day di mana anak-anak memberi hadiah kepada ibu dan nenek mereka.
    Sedangkan di Indonesia sendiri, Hari Perempuan Internasional dirayakan secara luas semasa kepemimpinan Presiden Soekarno. Namun peringatan 8 Maret ini tenggelam semasa berkuasanya Orde Baru karena gerakan perempuan pada waktu itu sudah dipatahkan dan dibungkam. Belakangan ini, organisasi dan kelompok perempuan di Indonesia kembali memperingati dan merayakan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Sedunia.
    Tahun ini, tema peringatan International Women's Day yang diangkat Dana Perempuan PBB UNIFEM adalah 'Hentikan Impunitas terhadap Kekerasan terhadap Perempuan'. Tema kekerasan terhadap perempuan masih tetap relevan termasuk di Indonesia.

    Cahaya Perempuan WCC, Bengkulu
    Misalnya saja LSM Cahaya Perempuan Women Crisis Centre di Bengkulu, mengangkat permasalahan sekitar kekerasan dalam rumah tangga dalam memperingati Hari Perempuan Sedunia tahun ini. Mereka akan mengadakan lokakarya berkaitan dengan penerapan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Berkaitan dengan tema tersebut Tety Sumeri, dari Divisi Pelayanan menjelaskan 60 sampai 65% kasus kekerasan yang ditangani oleh lembaga mereka antara tahun 2004 dan 2006, adalah kekerasan dalam rumah tangga.

    Dari tiga tahun terakhir pengalaman Cahaya Perempuan, banyak hambatan dalam implementasi UU KDRT itu. Antara lain dalam UU itu disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga sifatnya adalah delik aduan sehingga melemahkan dan mengaburkan penegakan hak-hak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga seperti hak mendapat keadilan secara hukum, perlindungan, dan hak kebenaran bahwa memang terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Karena kekerasan ini masih dianggap delik aduan, maka apabila perempuan korban mencabut aduannya, maka proses hukum tidak akan berjalan. Ini berbeda dengan tindak pidana umum lainnya. Demikian Tety menjelaskan.
    Di samping itu, komponen yang bertanggungjawab atau yang diamanatkan dalam UU itu sendiri, salah satunya adalah kepolisian masih memiliki kelemahan dalam lembaganya untuk memberikan perlindungan sesegera mungkin apabila seorang perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Peringatan Hari Perempuan ini dijadikan momentum bagi Cahaya Perempuan untuk menyoroti kelemahan-kelemahan dalam implementasi UU KDRT dengan harapan adanya perbaikan di waktu mendatang. Demikian Tety Sumeri.

    Koalisi Perempuan Indonesia, Jakarta
    Sementara itu Koalisi Perempuan Indonesia mengangkat tema 'Kontrol Negara terhadap Seksualitas Perempuan". Kenapa tema tersebut? Karena menurut Loli Suhenti dari KPI keterpurukan gerakan perempuan di Indonesia saat ini akibat menguatnya arus fundamentalisme agama yang diwujudkan dalam perda-perda syariah di berbagai daerah.

    Di samping itu juga kekerasan terhadap perempuan melalui tindakan poligami yang digembargemborkan ke publik dan dilakukan oleh pejabat pemerintah, pejabat negara, ataupun tokoh masyarakat yang menjadi panutan. Ketiga adalah RUU Pornografi yang dalam waktu dekat akan disahkan padahal substansinya tetap buruk bagi perempuan.
    Oleh karena itu momentum 8 Maret ini dimaksudkan untuk bisa menjadi daya penekan terhadap pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang lebih adil dan ramah terhadap perempuan. Untuk itu, KPI juga akan menemui presiden dan menteri dalam negeri.

    Rifka Annisa WCC, Jogyakarta

    Peringatan Hari Perempuan dirayakan oleh LSM Rifka Annisa WCC di Jogyarkarta dengan mengadakan lomba penulisan artikel dan poster bagi pelajar dan mahasiswa yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan. Di samping itu pada puncak peringatan tanggal 8 Maret malam di Monumen 1 Maret akan digelar parade band. Tema yang diusung kali ini adalah 'Hak-Hak Perempuan yang Terabaikan'. Walaupun di sejumlah hal peluang bagi perempuan telah terbuka seperti di bidang politik tapi itu tidak berarti pemerintah telah mengakomodasi kepentingan perempuan. Contoh nyata adalah affirmative action.

    Walaupun dalam Undang Undang Pemilu sudah ada tapi faktanya hanya sekitar 11% saja perempuan yang menjadi anggota legislatif. Contoh lain adalah kekerasan dalam rumah tangga. Walaupun sudah ada undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tapi undang-undnag tersebut dipandang sebelah mata. Aparat penegak hukum banyak yang belum memakai undang-undang ini untuk memproses perkara yang berkaitan dengan persoalan kekerasan dalam rumah tangga khususnya yang menimpa perempuan sebagai korban kekerasan. Demikian dijelaskan oleh Titin dari Rifka Annisa Jogyakarta.

    Aliansi Perempuan Sulawesi Tenggara, Kendari
    Sedangkan Aliansi Perempuan Sulawesi Tenggara di Kendari memperingati Hari Perempuan Sedunia dengan melakukan diskusi pada komunitasi dampingan mereka dengan tema 'Keterlibatan Perempuan dalam Pengambilan Kebijakan Daerah'. Direktur Eksekutif Kusnawati menjelaskan bahwa anggaran daerah saat ini belum responsif gender dan anggaran pemerintah daerah untuk peningkatan pemberdayaan perempuan masih sangat kecil sekali porsinya'. Jadi Aliansi Perempuan Sulawesi Tenggara merasa perlu mengangkat topik-topik ini untuk didiskusikan para perempuan dampingan mereka sehingga mereka dapat turut terlibat dalam merubah kebijakan yang lebih ramah terhadap perempuan. Demikian dijelaskan Kusnawati.